Teologi Penciptaan

Teologi Penciptaan

(Oleh Alferdi)

1.     Makna Yom

Yom digunakan menunjuk pada hari, yang arti harafiahnya adalah siang, terang dan waktu. Yang penulis ingin sampaikan untuk kata yom ialah untuk menunjukkan adanya pemisahan waktu antara penciptaan yang satu dengan yang lainnya.  Hari memiliki makna jadwal kinerja Allah yang sempurna yang telah ditentukan sesuai dengan yang dikehendakiNya. Kata hari juga dipahami sebagai kinerja Allah dalam rencanaNya, untuk menjadikan sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Hari juga mau menunjukkan bahwa Allah memiliki kinerja yang baik dan sistematis dalam penciptaan-Nya. Hari dalam urutan penciptaan ialah: hari pertama (‘ekhat), hari kedua (syttayim), hari ketiga (syalosy), hari keempat (‘adbbay), hari kelima (khamesy), hari keenam (syesy), dan hari ketujuh (syebay).[1]

2.     Makna Or

Makna kata Or dalam kamus pada dasarnya adalah siang atau terang, namun perlu dipahami ini bukanlah proses terjadinya siang dan malam, sebagaimana bumi yang berputar pada porosnya. Alasannya ialah alat penerang pada masa itu belum diciptkan misalnya matahari (diciptakan di hari keempat), selain itu penggunaan kata Or dilatarbelakangi oleh ayat sebelumnya, yang mengatakan bahwa bumi belum berbentuk, gelap gulita (berantakan). Malaikat yang sebelumnya diciptakan oleh Allah jatuh ke dalam pemberontakan, maka Allah harus menata kembali apa yang pernah diciptakan, ciptaan harus teratur, dan inilah yang dimaksudkan dengan kata terang yang terdapat dalam Kej. 1:3. Dalam kata Or ada tanda yang disebut maqqep sehingga membuatnya tidak harus diterjemahkan sesuai kamus. Dalam istilah lainnya bahwa kata Or memiliki makna sintaksis. Artinya bahwa terang yang dimaksudkan dalam hal ini bukan berasal dari matahari. Perbedaan antara Or dalam Kej. 1:3 bisa dilihat dalam Kej 1:5. Jadi jelaslah bahwa makna Or di sini adalah sebagai objek tidak langsung (kiasan).[2] Hal ini juga dipertegas oleh Baker bahwa hal ini tidaklah mengherankan karena pada dasarnya Allah adalah terang. Apa yang dikerjakan oleh Allah bukanlah kegelapan, sebab itu Allah menciptakan terang sebagai dasar segala penciptaan berikutnya.[3] Setelah ada penataan kembali pada ciptaan, penaataan itulah yang memberi pemisah antara ketidakteraturan (gelap) dengan yang teratur (siang). Inilah yang dimaksud dipisahkannyalah terang itu dari gelap. Tuhan tidak menginginkan adanya ketidakteraturan karena, hal itu tidak baik (kacau), Allah menginginkan ada keteraturan (berbentuk jelas/terang), adanya rencana untuk menciptakan makhluk yang sempurna (manusia) sehingga keteraturan itu perlu.[4]

3.     Makna Erev dan Boqer

Kedua kata ini (erev dan boqer) kata petang dan pagi. Keberadaan tanda maqqep memberikan arti bahwa keduanya tidak bisa diterjemahkan secara harafiah. [5] Dalam bahasa ibrani, petang adalah erev dan pagi adalah boqer. Erev berasal dari kata kerja yang berarti "menjadi gelap”. (misalnya, orev berarti gagak, yang berwarna hitam). Maka erev berarti kegelapan, atau waktu malam, meskipun itu berasal dari kata yang berbicara tentang awal malam. Boqer berasal dari kata kerja yang berarti "memecah" menjadi terang, maka kebalikan dari erev, berbicara tentang akhir malam, dan karenanya mengambil arti siang hari.[6] Sangat susah untuk menemukan arati yang sesungguhnya dari kedua kata ini, tetapi kebanyak ahli mengatakan bahwa dalam bahasa Ibrani ungkapan ini mengandung makna satu hari sudah lengkap.[7]


 

Rujukan

Arthur, and Rosalind Eedle. Unless The Lord Build the House Volume 2, 2011.

Bakker, F. L. Sejarah Kerajaan Allah 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.

D, William Reyburn, and Euan McG. Fry. Pedoman Penafsiran Alkitab Kitab Kejadian. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2020.

Sihombing, Bernike. “Studi Penciptaan Menurut Kitab Kejadian 1:1-31.” Kurios: Jurnal Teologi dan Pedidikan Agama Kristen Vol. 1, no. 1 (2013): 76–106.

 

 



[1] Bernike Sihombing, “Studi Penciptaan Menurut Kitab Kejadian 1:1-31,” Kurios: Jurnal Teologi dan Pedidikan Agama Kristen Vol. 1, no. 1 (2013): 76–106.

[2] Ibid.

[3] F. L. Bakker, Sejarah Kerajaan Allah 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 8.

[4] Sihombing, “Studi Penciptaan Menurut Kitab Kejadian 1:1-31.”

[5] Ibid.

[6] Arthur and Rosalind Eedle, Unless The Lord Build the House Volume 2, 2011, 110.

[7] William Reyburn D and Euan McG. Fry, Pedoman Penafsiran Alkitab Kitab Kejadian (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2020), 15.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Teologi Perjanjian Lama

Resensi Buku Teologi PB 1